Pertanyaan :
Apakah hasil rapat wali murid bisa melanggar dan membatalkan ketetapan Undang-Undang atau peraturan di bawahnya dengan contoh kasus sekolah melakukan pungutan atau iuran kepada siswa/orang tua murid?
Jawaban :
Rapat wali murid pada dasarnya tidak memiliki kekuatan hukum untuk melanggar atau membatalkan ketetapan Undang-Undang maupun peraturan di bawahnya, seperti Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud).
Rapat wali murid biasanya diselenggarakan untuk membahas hal-hal terkait pendidikan anak, termasuk koordinasi dengan komite sekolah atau pihak sekolah, tetapi keputusan yang dihasilkan tidak dapat mengesampingkan peraturan yang berlaku. Jika rapat wali murid menghasilkan kesepakatan yang bertentangan dengan hukum, seperti menetapkan pungutan atau iuran wajib yang melanggar aturan, maka keputusan tersebut tidak sah secara hukum dan dapat dibatalkan.
Di Indonesia, aturan terkait pungutan dan sumbangan di sekolah diatur dalam beberapa regulasi, terutama:
1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 34, yang menyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjamin pendidikan dasar tanpa pungutan biaya.
2. Permendikbud Nomor 44 Tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan pada Satuan Pendidikan Dasar, yang melarang sekolah negeri melakukan pungutan dan mengatur bahwa sumbangan bersifat sukarela, tidak wajib, dan tidak mengikat.
3. Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah, yang menegaskan bahwa komite sekolah tidak boleh melakukan pungutan, melainkan hanya boleh menggalang dana dalam bentuk sumbangan sukarela.
Contoh Kasus :
Misalnya, sebuah sekolah negeri mengadakan rapat wali murid dan menghasilkan keputusan bahwa setiap orang tua harus membayar iuran sebesar Rp500.000 untuk kegiatan ekstrakurikuler atau renovasi gedung. Keputusan ini disepakati oleh mayoritas wali murid yang hadir. Namun, jika iuran tersebut bersifat wajib, memiliki jumlah dan jangka waktu tertentu, serta tidak mempertimbangkan kemampuan ekonomi wali murid, maka ini dapat dikategorikan sebagai pungutan, bukan sumbangan.
Hal ini jelas melanggar Permendikbud Nomor 44 Tahun 2012, Pasal 9, yang melarang sekolah negeri memungut biaya pendidikan, serta Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016, Pasal 10, yang menyatakan penggalangan dana oleh komite sekolah hanya boleh berbentuk sumbangan sukarela.
- Akibat Hukum
Pembatalan Keputusan: Jika terbukti melanggar, keputusan rapat tersebut dapat dibatalkan oleh otoritas pendidikan (misalnya Dinas Pendidikan) atau Menteri Pendidikan, sebagaimana diatur dalam Permendikbud Nomor 44 Tahun 2012, Pasal 12, yang memberikan wewenang kepada Menteri untuk membatalkan pungutan yang melanggar aturan atau meresahkan masyarakat.
- Sanksi
Sekolah atau komite yang melakukan pungutan wajib dapat dikenakan sanksi administratif, seperti pengembalian dana kepada wali murid (Pasal 16 Permendikbud Nomor 44 Tahun 2012), atau bahkan sanksi pidana jika terbukti ada penyalahgunaan wewenang, sebagaimana diatur dalam Pasal 423 KUHP (maksimal 6 tahun penjara).
- Analisis
Rapat wali murid sering dijadikan alasan oleh sekolah atau komite untuk melegitimasi pungutan, dengan dalih “kesepakatan bersama.” Namun, kesepakatan tersebut tidak serta merta membuat pungutan menjadi sah jika bertentangan dengan regulasi. Hukum positif di Indonesia lebih tinggi kedudukannya daripada keputusan rapat, sehingga rapat tidak bisa digunakan untuk membatalkan atau mengesampingkan Undang-Undang dan peraturan turunannya. Dalam praktik, banyak sekolah yang mencoba menyamarkan pungutan sebagai “sumbangan sukarela” padahal ada tekanan implisit (misalnya anak tidak boleh ikut kegiatan jika tidak membayar), yang tetap melanggar hukum.
- Kesimpulan
Rapat wali murid tidak dapat melanggar atau membatalkan ketetapan Undang-Undang atau peraturan di bawahnya.
Jika sekolah melakukan pungutan kepada orang tua murid berdasarkan hasil rapat, dan pungutan itu tidak sesuai dengan aturan (misalnya wajib, memaksa, atau tidak transparan), maka itu merupakan pelanggaran hukum. Contoh kasus di atas menunjukkan bahwa meskipun ada kesepakatan dalam rapat, aturan seperti Permendikbud tetap menjadi acuan utama, dan pelanggaran dapat berujung pada sanksi atau pembatalan keputusan.